SINOPSIS BUKU
Dalam perbankan syariah, terdapat pembiayaan mudhārabah (muqaradhah); di Eropa, disebut comenda atau commandite. Pola pembiayaan ini telah digunakan oleh masyarakat dunia; bahkan sejak zaman pertengahan Bizantium Islam, Abad XVI, dan seterusnya. Pola ini digunakan, sehubungan dengan kenyataan bahwa pada setiap masyarakat di dunia, selalu terdapat dua kelompok dengan kemampuan yang berbeda. Pihak pertama, memiliki kemampuan keuangan dan dapat menyediakan modal, atau disebut shāhibul māl. Pihak kedua, memiliki keahlian dan pengalaman berdagang atau berusaha, tetapi tidak memiliki modal, atau disebut mudhārib. Akad pembiayaan mudhārabah menyatukan kedua pihak tersebut. Pihak pertama memercayakan modalnya kepada pihak kedua. Dengan modal itu, pihak kedua dapat berdagang atau berusaha. Oleh karena keahlian dan pengalamannya, pihak kedua itu dapat menghasilkan keuntungan, yang kemudian dibagi dengan pihak pertama, berdasarkan nisbah sesuai kesepakatan awal. Ketika keuntungan dihasilkan, usaha berkembang, produksi meningkat, dan lapangan kerja baru terbuka bagi orang lain. Jelas, penyatuan dua pihak dengan kemampuan yang berbeda itu membawa manfaat, kemaslahatan, bagi orang banyak.
Pola pembiayaan ini juga dipraktikkan oleh para pedagang di jazirah Arab. Setelah Al-Qur’an diwahyukan, Nabi Besar Muhammad Saw. menyetujui untuk melanjutkan pembiayaan tersebut. Bahkan, Nabi Saw. sendiri pernah menerapkannya ketika berdagang, dengan modal dari calon istri beliau, Siti Khadijah. Riwayat Ibn Majah dari Shuhaib menyebutkan bahwa, “Ada tiga hal mengandung berkah, jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudhārabah) dan mencampur gandum dengan jawawut, bukan untuk dijual.” Model pembiayaan ini telah mampu mengembangkan ekonomi pada masa Nabi Saw., Khalifah Umar bin Khattab, dan pengembangan permulaan ekonomi Jerman. Karena kemaslahatan yang diciptakan, maqasid al syariah, mudhārabah menjadi ikon pembiayaan dalam perbankan syariah.
Bank dapat bertindak sebagai shāhibul māl, ketika memberikan pembiayaan mudhārabah kepada nasabahnya. Pihak terakhir ini bertindak sebagai mudhārib, entrepreneur, atau pengusaha. Bank sebagai shāhibul māl memberikan modal kepada mudhārib semata-mata atas kepercayaan. Dana modal itu digunakan mudhārib untuk menjalankan dan mengelola suatu usaha. Hanya mudhārib berwenang mengelola usaha itu, dan shāhibul māl tidak dapat ikut campur di dalamnya. Namun, ketika usaha merugi disebabkan risiko bisnis, kerugian ditanggung sepenuhnya oleh shāhibul māl, bukan mudharib.
Selain pemodal menanggung risiko bisnis, bank syariah menghadapi sejumlah risiko yang berkaitan dengan kualitas mudhārib. Tidak saja harus mengkaji keahlian dan pengalamannya, bank syariah harus menelaah secara saksama kadar amanah atau trust yang dimiliki mudhārib. Analisis dalam buku ini menunjukkan, bahwa arti penting kata amanah dan trust memiliki persamaan. Kedua kata ini, trust atau amanah, memiliki konotasi yang sama, bahwa “seseorang yang amanah atau trustworthy adalah apabila orang itu dapat menenuhi harapan orang lain yang memercayainya atau memberikan amanat kepadanya”. Sebagai esensi penting akad, mudhārib mengelola dan mengontrol usaha sepenuhnya, yang dibiayai shāhibul māl. Oleh karena itu, pemodal benar-benar harus dapat meyakini diri, bahwa mudharib dapat dipercaya untuk menjaga amanat yang diberikan, dan tidak melakukan tindakan yang merugikan kepentingannya. Mudhārib dapat saja melakukan banyak hal untuk kepentingan pribadi; tetapi ditutupi, dengan mengatakan, bahwa kerugian terjadi akibat risiko bisnis normal.
Materi penelitian ini berada dalam tataran sektor keuangan. Di dalam sektor ini, terdapat beberapa teori yang dapat digunakan untuk mendekati dan menganalisis persoalan di dalamnya. Ketika sedang mempertimbangkan pemberian pembiayaan mudhārabah, bank syariah menghadapi ketidakseimbangan informasi (symmetric information). Jika tidak diatasi ex ante, maka bank akan mengalami salah pilih (adverse selection). Artinya, calon nasabah berisiko tinggi disetujui, yang seharusnya ditolak. Jika tidak diatasi ex post, maka orang yang dipercayai itu akan melakukan moral hazard, atau penyelewengan yang tidak selalu dapat terlihat. Untuk itu, diperlukan pengawasan dan monitoring usaha secara rutin dan berkala.
Persoalan hubungan antara shāhibul māl dan mudhārib merupakan persoalan yang selalu ada, dan setara dengan hubungan atasan bawahan (principal and agent problems) atau agency problems. Dalam teori ini, tidak semua informasi yang dimiliki bawahan dapat diketahui atau disampaikan kepada atasan. Dalam hubungan itu terbentuk hubungan fidusia (fiduciary relationship), di dalam mana salah satu pihak menggantungkan harapannya kepada pihak lain, sebagaimana dikandung kata “amanah” atau trust. Di sini, makna utama kata “amanah” atau ‘trust’ itu berperan penting. Di dalam hubungan fidusia, pihak yang dipercayai itu memiliki tiga tugas hukum, yaitu: tugas beriktikad baik (duty of good faith); tugas loyalitas (duty of loyalty), dan tugas kehati-hatian (duty of care). Seluruh tugas ini juga harus dipenuhi oleh mudhārib terhadap shāhibul māl.